Bahan Pengawet
Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, pengawet merupakan bahan tambahan pangan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Definisi lain bahan pengawet adalah senyawa atau bahan yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan makanan dari proses pembusukan (Cahyadi, 2008).
Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun tidak patogen, memperpanjang umur simpan pangan, tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan, tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah, tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan, dan tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2008).
Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, pengawet merupakan bahan tambahan pangan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Definisi lain bahan pengawet adalah senyawa atau bahan yang mampu menghambat dan menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, atau bahan yang dapat memberikan perlindungan bahan makanan dari proses pembusukan (Cahyadi, 2008).
Secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun tidak patogen, memperpanjang umur simpan pangan, tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan, tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah, tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan, dan tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan (Cahyadi, 2008).
Jenis-Jenis Bahan Pengawet
Bahan pengawet dikelompokkan sebagai bahan pengawet organik dan anorganik. Bahan pengawet organik yang diizinkan penggunaannya pada bahan pangan adalah asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, kalium benzoat, kalium propionat, kalium sorbat, kalsium benzoat, metil-p-hidroksi benzoat, natrium benzoat, natrium propionat, nisin, dan propil-p-hidroksi benzoat. Bahan pengawet anorganik yang diizinkan penggunaannya pada bahan pangan adalah belerang dioksida, kalium bisulfit, kalium metabisulfit, kalium nitrat, kalium nitrit, kalium sulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitrit dan natrium sulfit (Cahyadi, 2008). Sedangkan bahan pengawet yang dilarang penggunaanya dalam makanan adalah formalin, natrium tetraboraks, asam salisilat dan garamnya, dietilpilokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan kalium bromat (Yuliarti, 2007).
2.3.2 Penggunaan Pengawet dalam Bahan Makanan
Bahan pengawet seperti benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, kecap, acar ketimun, margarin, sari buah, saus, dan makanan lainnya. Nitrit sering digunakan untuk bahan pengawet daging olahan seperti sosis dan kornet dalam kaleng (Cahyadi, 2008). Sedangkan nipagin digunakan sebagai bahan pengawet pada kecap, sereal, minyak dan lemak, selai, sirup, minuman kaleng, dan bumbu-bumbu kemasan (Anonimb, 2011)
Pada kecap, pengawet yang paling umum digunakan adalah asam benzoat dan nipagin (Chu et al., 2003). Asam benzoat memiliki aktivitas antimikroba yang optimum pada pH 2,5-4,0. Sedangkan nipagin memiliki aktivitas antimikroba yang sama seperti benzoat tetapi efektif pada rentang pH yang lebih luas. Kombinasi dari pengggunaan asam benzoat dan nipagin sebagai pengawet dalam makanan dapat meningkatkan daya tahan makanan karena peningkatan efek antimikrobanya (Ponte dan Tsen, 1985).
Bahan pengawet dikelompokkan sebagai bahan pengawet organik dan anorganik. Bahan pengawet organik yang diizinkan penggunaannya pada bahan pangan adalah asam benzoat, asam propionat, asam sorbat, kalium benzoat, kalium propionat, kalium sorbat, kalsium benzoat, metil-p-hidroksi benzoat, natrium benzoat, natrium propionat, nisin, dan propil-p-hidroksi benzoat. Bahan pengawet anorganik yang diizinkan penggunaannya pada bahan pangan adalah belerang dioksida, kalium bisulfit, kalium metabisulfit, kalium nitrat, kalium nitrit, kalium sulfit, natrium bisulfit, natrium metabisulfit, natrium nitrat, natrium nitrit dan natrium sulfit (Cahyadi, 2008). Sedangkan bahan pengawet yang dilarang penggunaanya dalam makanan adalah formalin, natrium tetraboraks, asam salisilat dan garamnya, dietilpilokarbonat, dulsin, kalium klorat, kloramfenikol, minyak nabati yang dibrominasi, nitrofurazon, dan kalium bromat (Yuliarti, 2007).
2.3.2 Penggunaan Pengawet dalam Bahan Makanan
Bahan pengawet seperti benzoat digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, kecap, acar ketimun, margarin, sari buah, saus, dan makanan lainnya. Nitrit sering digunakan untuk bahan pengawet daging olahan seperti sosis dan kornet dalam kaleng (Cahyadi, 2008). Sedangkan nipagin digunakan sebagai bahan pengawet pada kecap, sereal, minyak dan lemak, selai, sirup, minuman kaleng, dan bumbu-bumbu kemasan (Anonimb, 2011)
Pada kecap, pengawet yang paling umum digunakan adalah asam benzoat dan nipagin (Chu et al., 2003). Asam benzoat memiliki aktivitas antimikroba yang optimum pada pH 2,5-4,0. Sedangkan nipagin memiliki aktivitas antimikroba yang sama seperti benzoat tetapi efektif pada rentang pH yang lebih luas. Kombinasi dari pengggunaan asam benzoat dan nipagin sebagai pengawet dalam makanan dapat meningkatkan daya tahan makanan karena peningkatan efek antimikrobanya (Ponte dan Tsen, 1985).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT)
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) merupakan cara pemisahan campuran senyawa menjadi senyawa murninya dan mengetahui kuantitasnya. Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya. KLT dapat digunakan untuk memisahkan senyawa – senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida – lipida dan hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan isolasi senyawa murni skala kecil. Pelarut yang dipilih untuk pengembang disesuaikan dengan sifat kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapisan tipis seperti silika gel adalah senyawa yang tidak bereaksi dengan pereaksi – pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat. Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf dari senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Oleh karena itu bilangan Rf selalu lebih kecil dari 1,0.
Perhitungan nilai Rf Jumlah perbedaan warna yang telah terbentuk dari campuran, pengukuran diperoleh dari lempengan untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang muncul. Pengukuran ini berdasarkan pada jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh bercak warna masing-masing. Ketika pelarut mendekati bagian atas lempengan, lempengan dipindahkan dari gelas kimia dan posisi pelarut ditandai dengan sebuah garis, sebelum mengalami proses penguapan. Pengukuran berlangsung sebagai berikut: Nilai Rf untuk setiap warna dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Rf =jarak yang ditempuh oleh komponen / jarak yang ditempuh oleh pelarut
Perhitungan nilai Rf Jumlah perbedaan warna yang telah terbentuk dari campuran, pengukuran diperoleh dari lempengan untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang muncul. Pengukuran ini berdasarkan pada jarak yang ditempuh oleh pelarut dan jarak yang tempuh oleh bercak warna masing-masing. Ketika pelarut mendekati bagian atas lempengan, lempengan dipindahkan dari gelas kimia dan posisi pelarut ditandai dengan sebuah garis, sebelum mengalami proses penguapan. Pengukuran berlangsung sebagai berikut: Nilai Rf untuk setiap warna dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Rf =jarak yang ditempuh oleh komponen / jarak yang ditempuh oleh pelarut
Cara kerja kromatografi lapis tipis
Fase diam-jel silika. Jel silika adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon dihubungkan oleh atom oksigen dalam struktur kovalen yang besar. Namun, pada permukaan jel silika, atom silikon berlekatan pada gugus -OH. Jadi, pada permukaan jel silika terdapat ikatan Si-O-H selain Si-O-Si. Permukaan jel silika sangat polar dan karenanya gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa-senyawa yang sesuai disekitarnya, sebagaimana halnya gaya van der Waals dan atraksi dipol-dipol. Fase diam lainnya yang biasa digunakan adalah alumina-aluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan juga memiliki gugus -OH. Apa yang kita sebutkan tentang jel silika kemudian digunakan serupa untuk alumina.
Pelaksanaan kromatografi lapis tipis bisa digunakan dengan kromatogram atau perhitungan Rf atau pengidentifikasian senyawa-senyawa. Pelaksanaan kromatografi biasanya digunakan dalam pemisahan pewarna yang merupakan sebuah campuran dari beberapa zat pewarna. Jumlah perbedaan warna yang telah terbentuk dari campuran, pengukuran diperoleh dari lempengan untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang muncul. Tidak diperlukan menghitung nilai Rf karena anda dengan mudah dapat membandingkan bercak-bercak pada campuran dengan bercak dari asam amino yang telah diketahui melalui posisi dan warnanya. Jika kromatografi lapis tipis yang akan dideteksi pada substansi tidak berwarna dilakukan dengan cara pendaflour dan bercak secara kimia. fase diam pada sebuah lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yang ditambahkan kedalamnya, supaya menghasilkan pendaran flour ketika diberikan sinar ultraviolet (UV). Itu berarti jika menyinarkannya dengan sinar UV, akan berpendar. Untuk membuat bercak-bercak menjadi tampak dengan jalan mereaksikannya dengan zat kimia sehingga menghasilkan produk yang berwarna.
Dengan begitu kita dapat melihat bercak – bercak warna pada masing – masing cuplikan untuk membandingkan harga Rfnya dan mengetahui senyawa apa yang terdapat didalam cuplikan.
Fase diam-jel silika. Jel silika adalah bentuk dari silikon dioksida (silika). Atom silikon dihubungkan oleh atom oksigen dalam struktur kovalen yang besar. Namun, pada permukaan jel silika, atom silikon berlekatan pada gugus -OH. Jadi, pada permukaan jel silika terdapat ikatan Si-O-H selain Si-O-Si. Permukaan jel silika sangat polar dan karenanya gugus -OH dapat membentuk ikatan hidrogen dengan senyawa-senyawa yang sesuai disekitarnya, sebagaimana halnya gaya van der Waals dan atraksi dipol-dipol. Fase diam lainnya yang biasa digunakan adalah alumina-aluminium oksida. Atom aluminium pada permukaan juga memiliki gugus -OH. Apa yang kita sebutkan tentang jel silika kemudian digunakan serupa untuk alumina.
Pelaksanaan kromatografi lapis tipis bisa digunakan dengan kromatogram atau perhitungan Rf atau pengidentifikasian senyawa-senyawa. Pelaksanaan kromatografi biasanya digunakan dalam pemisahan pewarna yang merupakan sebuah campuran dari beberapa zat pewarna. Jumlah perbedaan warna yang telah terbentuk dari campuran, pengukuran diperoleh dari lempengan untuk memudahkan identifikasi senyawa-senyawa yang muncul. Tidak diperlukan menghitung nilai Rf karena anda dengan mudah dapat membandingkan bercak-bercak pada campuran dengan bercak dari asam amino yang telah diketahui melalui posisi dan warnanya. Jika kromatografi lapis tipis yang akan dideteksi pada substansi tidak berwarna dilakukan dengan cara pendaflour dan bercak secara kimia. fase diam pada sebuah lempengan lapis tipis seringkali memiliki substansi yang ditambahkan kedalamnya, supaya menghasilkan pendaran flour ketika diberikan sinar ultraviolet (UV). Itu berarti jika menyinarkannya dengan sinar UV, akan berpendar. Untuk membuat bercak-bercak menjadi tampak dengan jalan mereaksikannya dengan zat kimia sehingga menghasilkan produk yang berwarna.
Dengan begitu kita dapat melihat bercak – bercak warna pada masing – masing cuplikan untuk membandingkan harga Rfnya dan mengetahui senyawa apa yang terdapat didalam cuplikan.
Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26856/4/Chapter%20II.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19236/3/Chapter%20II.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar